Penunggu di Ujung Rel (Bagian 1)

Di sebuah desa kecil yang tenang, hidup seorang lelaki bernama Pak Tarmo. Usianya sudah 45 tahun, rambutnya mulai memutih di beberapa sisi, tetapi wajahnya tetap memancarkan ketenangan. Setiap pagi dan sore, ia selalu terlihat di warung kopi kecil di dekat rel kereta. Secangkir kopi hitam panas menjadi teman setianya, dan ia selalu duduk di kursi kayu menghadap langsung ke arah rel.

Pak Tarmo bukan pekerja kereta api, bukan pula penjaga perlintasan. Namun, setiap kali ada kereta lewat, ia selalu ada di sana. Warga desa sudah hapal dengan kebiasaannya. “Pak Tarmo itu orang yang setia. Setiap hari ada saja di situ, seperti jam dinding yang tak pernah telat,” kata Bu Siti, pemilik warung kopi, sambil menyeduh kopi untuknya.

Ketika suara klakson kereta terdengar dari kejauhan, Pak Tarmo menegakkan tubuhnya. Ia menatap rel dengan mata penuh harap, lalu berdiri saat kereta melintas. Kadang ia melambaikan tangan ke arah kereta, meski ia tahu tak ada yang membalas dari dalam. Setelah kereta berlalu, ia kembali duduk dan menyesap kopinya pelan-pelan, seperti merasakan kenangan yang terselip dalam deru roda besi itu.

Banyak yang penasaran dengan kebiasaannya. Suatu hari, seorang anak muda bernama Andi yang sering mampir ke warung bertanya, “Pak, kenapa Bapak selalu tunggu kereta lewat?”

Pak Tarmo tersenyum. Senyum yang hangat tapi ada sedikit rasa pilu. “Dulu, anakku suka naik kereta ini. Ia pergi ke kota mencari kehidupan yang lebih baik. Sebelum pergi, ia berjanji akan pulang saat musim panen. Tapi sampai sekarang, ia belum kembali,” katanya sambil memandangi rel yang panjang dan seolah tak berujung.

Andi tertegun. Ia merasa ada cerita yang lebih dalam dari sekadar menunggu kereta. “Bapak yakin dia akan kembali?” tanyanya pelan.

Pak Tarmo menyesap kopinya lagi. “Aku tidak tahu. Tapi aku percaya, setiap deru kereta membawa harapan. Mungkin suatu hari, ia akan turun dari salah satu gerbong itu.”

Meski waktu terus berjalan, Pak Tarmo tak pernah absen. Hujan atau panas, ia tetap di sana, menunggu dan menyeruput kopinya. Baginya, setiap kereta yang melintas adalah pengingat akan janji dan harapan yang tak pernah pudar.

Warga desa kini memahami bahwa kebiasaan Pak Tarmo bukan sekadar rutinitas. Itu adalah bentuk kesetiaan seorang ayah yang berharap, meski harapan itu hanya sehalus deru roda kereta yang berlalu.

Open chat
Hello,
Ada yang bisa saya bantu?