Oleh: Bahren*
Menarik sekali membaca tulisan Andry S Huzain pada tanggal 7 Desember 2005 dalam sebuah blog pribadi miliknya, beliau berpikiran bahwa “ Bahasa mempengaruhi pola pikir dan sedikit banyak, kepribadian. Ini berlaku untuk bahasa apapun. Dialek surabaya yang pendek dan jujur, meski terlihat kasar tapi membuat seseorang menjadi “apa adanya”.
Dialek jogja yang halus tapi dalem, membuat kita harus berpikir dua kali untuk mengartikan maksud “ada apanya”.
Namun tidak hanya itu, barangkali sebuah pertanyaan lain akan muncul. Sudahkah cara berpikir Bangsa Indonesia maju, setelah lepas dari jajahan kolonial Belanda ? Sudahkah perubahan yang diidam-idamkan ke arah yang lebih baik tercapai ? Semua jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu dapat kita lihat dalam penggunaan bahasa yang dipakai di negara tercinta ini.
Sejak ORLA (Orde Lama), ORBA (Orde Baru) sampai sekarang ini Era Reformasi ternyata kita belum mengalami perubahan pola pikir terutama dalam penggunaan bahasa. Pada masa rezim orde baru, ada gaya bahasa yang menonjol yang digunakan oleh para penguasa. Karena berkuasanya para pengasa ini, maka cara mereka berbahasa pun sangat mewarnai gaya bahasa yang digunakan oleh para pengikut mereka, bahkan juga di dalam dunia jurnalistik. Gaya-gaya tersebut antara lain:
1. Pleonasme, yakni gaya yang menjelaskan sesuatu yang seharusnya tidak perlu dijelaskan, semakin dijelaskan, maka hal yang dijelaskan itu berubah hingga maknanya menjadi rancu dan terjadilah pemborosan kata-kata. Sebagai contoh “guru harus dapat mendidik, mahasiswa harus kritis, hakim harus bertindak adil, polisi harus mengayomi masyarakat”. Semua itu memberikan gambaran jelas pada dunia bahwa guru Indonesia belum bisa mendidik, mahasiswanya tidak kritis dan tidak bisa bertindak ilmiah walaupun telah bersekolah di sekolah ilmiah, hakimnya selama ini belum adil dan polisi pun belum bisa mengayomi masyarakatnya.
2. Eufemisme, yaitu gaya untuk menghaluskan sesuatu yang (barangkali) dianggap kasar. Sebagai contoh mari kita lihat penggunaan huruf WTS mengganti sebutan untuk “lonte atau pelacur” hal ini diperparah dengan munculnya kata PSK mengggantikan WTS sehingga para pelacur yang terjaring dalam sebuah razia dapat dengan mudah berkilah mereka sedang bekerja “ Pekerja Seks Komersial”, kata Korupsi diganti dengan “salah prosedur”, yang tidak buta menjadi rugi mata (tunanetra), yang bisu dikatakan kurang bisa bicara, yang pekak menjadi kurang bisa mendengar, (walaupun sama sekali memang telinganya tidak berfungsi lagi). Para pejabat yang berbuat salah disamarkan menjadi oknum. Para pekerja yang dipecat dibahasakan sebagai orang yang kena PHK. Buruh yang melakukan demonstrasi dikatakan unjuk rasa. Dengan gaya berbahasa semacam itu, secara ringkas dapat dikatakan berbahasa disertai dengan usaha menyembunyikan hal yang sebenarnya.
3. Gaya Bahasa Komandan (Feodalisme), yaitu gaya bahasa penuh perintah. Gaya seperti ini banyak diguanakan oleh seorang komandan terhadap bahawannya tetapi juga menjalar ke seluruh lapisan masyarakat. Sebagai contoh dengan bahasa yang disampaikan dalam setiap dakwah, ini yang benar dan ini yang salah. Ini yang halal dan ini yang haram. Kita tidak boleh begini dan begitu. Atau, pendek kata kita tidak sebagai pendengar tidak perlu berpikir atau berinisiatif untuk memikirkan hal inti persoalan. Karena memang tidak penting dan yang terpenting adalah mematuhi perintah.
Selain tiga gaya bahasa di atas yang pada orde baru berkembang, pada masa orde yang tidak baru lagi untuk saat ini pun ada gaya lain yang juga menonjol yang perlu kita amati. Gaya-gaya tersebut adalah:
a. Penciptaan dan penggunaan akronim
Penciptaan dan penggunaan akronim (singkatan) sebelum era yang disebut sebagai era reformasi ini boleh dikatakan hak semua instansi dan hak semua orang. Ini dapat kita lihat dalam penggunaan kata UU, Juklak, Juknis, setelah ada Undang-Undang, maka dibuat semacam peraturan lagi berupa Petunjuk Pelaksanaan (JukLak), setelah JukLak dibuat pun masih harus ada Petunjuk Teknis (JukNis). Jelas sekali bahwa orang-orang bangsa ini tidak boleh berpikir yang lain dan harus sesuai dengan petunjuk petunjuk yang ada. Hal ini masih diperparah dengan pembuatan-pembuatan akronim (singkatan) yang kadang kala sering membingungkan. Pada Masa ORBA dan ORLA hampir semua singkatan yang dipakai berbau politik, misalnya IPOLEKSOSBUDHANKAM (Idiologi Politik Ekonomi Sosial Budaya Pertahanan Ketahanan dan Keamanan), Lebih parahnya lagi adanya pembuatan singkatan daram singkatan misalnya AMD (ABRI Masuk Desa) ABRI disini merupakan singkatan dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, KORPRI (Korp Pegawai Repulik Indonesia) Korp juga singkatan dari Corporatioan.
b. Penggunaan kata-kata sakti yang mujarab
Penggunaan kata-kata ini pada umumnya kita lihat dalam bahasanya para pejabat. Seoranmg menteri oleh raga memilih kata-kata memasyarakatkan olah raga dan mengolahragakan masyarakat. Bagaimana halnya kalau itu terjadi pada dunia tinju? Kata-katanya barangkali akan berdampak lain “memasyarakatkan tinju dan meninju masyarakat”. Sebagai contoh lain, kata-kata ketahanan pangan yang digembar-gemborkan pemerintah justru di sebagian petani menyebutnya kedaulatan pangan, artinya mungkin petani berhak menetukan arah produksi yang mereka inginkan. Bahkan tidak jarang pada masa sebelum reformasi saat ini beberapa orang pejabat sering sekali berbicara dengan kalimat/ kata-kata “sesuai anjuran Bapak Pimpinan (baca Presiden), sehingga kita dapat mengasumsikan bahwa dengan anjuran itu maka itulah yang terbaik untuk dibuat. Kematian daya kreasi dan inovasi bangsa sangat terlihat disini.
c. Gaya reformasi
Walaupun orde lama dan orde baru telah kita tinggalkan, namun pada era reformasi ini, tidak jarang kita jumpai bahwa, ketiga gaya bahasa yang sebelumini kita bahas masih tetap terjadi dan masih digemari oleh banyak orang. Pembuatan singkatan atau akronim malah makin bertambah dan menjadi-jadi dalam arti penggunaan akronim masa semakin tumbuh subur dengan berbagai variasinya. Sebagai contoh KKN tidak lagi hanya merupakan kependekan dari “Kuliah Kerja Nyata” namun juga menjadi “Korupsi Kolusi dan Nepotisme”. PHK yang dulu kita kenal dengan “Putus Hubungan Kerja” sekarang berkembang menjadi “Program Hibah Kompetisi”. Masih banyak lagi penggunaan akronim yang menarik untuk dilihat. Misalnya Ompol (omongan Politik), Ngompol (Ngomong Politik), Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah), Pilkadaluarsa (Pemilihan Kepala Daerah Luar Biasa), Hakim (Hubungi Aku Kalau Ingin Menang), Sumut (Semua Urusan Mesti Uang Tunai), Sumbar (Semua Uang Masuk Bagi Rata) sehingga terjadi korupsi berjamaah dan banyak lagi. Dari penggunaan bahasa dan penggunaan akronim dapat kita lihat bahwa siapa yang berkuasa, yang berjabatan merekalah yang menentukan semua cara kita bertindak, berbuat dan berbicara. Dari dulu hingga saat ini semua itu masih terjadi.
Jadi, dapat kita katakan bahwa penggunan bahasa yang ada dalam masyarakat kita semenjak zaman Orde Lama, Orde Baru dan Era reformasi ini masih bisa dikatakan tidak berubah. Malahan bertambah-tambah model dan cara penyampaiannya. Apakah ini yang dinamakan bagian dari inovasi bahasa atau kemunduram bahasa dalam cara dan pola kita berpikir?. Entahlah.
* Staf Pengajar Jurusan Sastra Daerah,
Anggota Kelompok Kajian Poetika
Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang